Remaja Masjid Raya Taluk

Lintaubuo Tanah Datar

Jumat, 26 Februari 2010

Cerpen: Dua Butir Air Mata Salmi

Dua Butir Air Mata Salmi


Pagi itu matahari mulai beranjak naik. Salmi kembali menulusuri tepian telaga, seperti waktu-waku dulu. Waktu Salmi menyulusuri tepian telaga sepulang sekolah bersama Salman. “Oi Salmi baa kaba?”, ada suara dari belakang. Sekejap Salmi menoleh. Rupanya Salman

sahabat kecilnya. Mereka bersalaman

dan kemudian saling berangkulan. Mata keduanya berkaca-kaca. Ada rasa haru yang teramat sangat ketika kedua sahabat yang telah lama tidak berjumpa ini bertemu kembali.

“Dari mana kamu?”, Tanya Salmi. “Biasalah, dari kuburan malam tadi ada tahlilan lalu pagi ini berdoa di kuburan lalu makan-makan”. Salman menjawab lalu bertanya, “Eh, Den baru sudah makan ado rokok ndak?”. Sambil tersenyum Salmi menjwab, “Ang kan tahu, sajak kuliah dulu Den idak marokok. Wakotu tu fatwa ulama mengecean rokok tu makhru. Tapi kini alah manjadi haram tambah idak marokok jadinyo den”. Salman mendegar sambil nyengir.

“Biasonyo kito mengecek dari HP ka HP. Kini den lah punyo Fecebook. Lai punyo Facebook ang?”. Tanya Salmi. Dengan wajah kebingungan Salman menjawab, “Face book. Face tu wajah book tu buku. Jadi maksud ang muko di sampul buku. Eh eh bilo loh dek ang ko aden yang tamatan sungai sariak ko kan manulis buku”. “Eh eh Salman Salman”, jawab Salmi sambil tertawa kecil. Merekapun mulai terlibat perbincangan yang panjang sambil diselang-selangi oleh canda tawa. Ada saja yang mereka bicarakan. Apakah itu tentang harga karet, musim panen padi hingga sampah seperti botol minuman keras dan kondom yang mudah di temui di tepi telaga.

* * *

Teringat Salmi beberapa tahun yang lalu setelah tamat mengaji di Sungai Sariak dia terperangkap di antara dua pilihan. Mengikuti perintah mamaknya, Datuk Palito Nagari, yang meminta kesediaannya memangku gala malin untuk sukunya, atau mengikuti naruninya memperdalam ilmu agama di universitas Islam. “kalau ang indak namuah menyandang gala Angku Kapalo Koto Batuah, gala tu tapaso den agian ka Salman, saudara sepupu waang tu”. Datuk Palito Nagari berkata dengan nada tinggi. Salman menjawab dengan nada agak tertahan. “Bukan awak indak namuak mak, tapi ambo raso ilmu agama ambo alun sabara lai”. “Lai jaleh dek ang. Untuk manjadi malin tu dak paralo ang batitel bagai, pandai mambawon sumbayang, mangurus mayat, mangantang padi zakat, dan mangajian urang mati lah cukuik tu mah”. Datuk Palito Nagari memotong kata-kata Salmi. “Tapi manuruik Ambo Mak, itu alun cukuik. Agama bukan sekedar untuk itu. Agama tu untuk mangatur sagalo urusan manusia bahkan Islam tu sabagai rahmatan lil alamin”. Salmi kembali melanjutkan bicaranya. Dengan nada yang ditinggikan lagi Datuk Palito Nagari berkata, “Alah, alah tu Salmi. Alah jaleh dek den makasuak ang tu. Artinyo harapan den la Ang sio-siokan. Tapaso gala Angku Kapalo Koto Batuah dibawoan dek Salman. Den pulang lai. Kecean ka amak Waang, assalamualikum’. “Waalaikumsalam”. Balas Salmi.

Sejak kejadian itu Datuk Palito Nagari jarang sekali bertamu ke rumah Salmi, untuk bertemu dengan adiknya, Ibu Salmi dan kemanakannya. Hanya sekali-kali saja ketika anjing perburuannya sakit untuk disuntik oleh ayah Salmi yang seorang mentari hewan. Atau ketika anjing perburuan kesayangannya itu perlu diberi obat penambah stamina. Semenjak itu pulalah Salmi tidak diminta lagi oleh Datuk Palito Nagari untuk membawakan doa dalam hajatan kampung, imam shalat tarawih dan memberikan ceramah sebelum shalat tarawih dimulai.

* * *

Dua tahun sudah waktu sudah di lalui Salmi menuntut ilmu agama di universitas Islam. Dua tahun pulalah Salman manyandang gala malin Angku Kapalo Koto Batuah. Pada tahun kedua itulah hubungan Salmi dan Salman mulai retak yang akhirnya untung utuh kembali ketika Salman membantu Salmi untuk suksesnya pernikahan Salmi dengan gadis Riau, Siti Nurfaizah, pujaan hati Salmi di kampus.

Waktu itu malam sudah larut di Surau Serawang Tuo. Mereka hanya berdua, teman-teman mereka yang lain belum juga ingin tidur. Mereka masih hanyut dalam permainan kartu koa, domino, dan cerita sinetron. “Salman, jangan kamu berpegang teguh juga pada ajaran-ajaran guru kita yang disurau dulu. Berdoa pakai kemenyan, bertahlil yang akhirnya menyusahkan orang yang kemalangan, meniliak bulan, dan tidak percaya bumi ini bulat”. Ajak Salmi kepada salman. “Ah itu sudah tradisi kita di kampung ini. Apa tradisi yang diajarkan oleh guru-guru itu yang kita pakai. Jika tradisi itu salah guru yang akan memikul dosa kita nantinya’. Salman mencoba memotong bicara Salmi. “Tapi bukan itu saja, Man. Kamu lihat dalan Kitab Suci surat Annisa ayat 100, Allah berfirman; ”Barang siapa berhijrah di jalan Allah, akan mendapati bumi Allah yang luas dan rezki yang banyak”. Kamu perhatikanlah beberapa orang senior-senior kita telah hijrah, setamat di surau mereka melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, mereka tidak lagi memakai paham tua lagi. Kini mereka telah berhasil menjadi PNS ataupun menjadi pengusaha. Coba bandingkan dengan malin-malin yang masih berpegah teguh kepada paham tua. Ekonomi mereka belum bisa menyejahterakan meraka. Mana mungkin mereka dapat menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi untuk memenuhi tuntutan zaman”. “betul betul betul” sambung Salman sambil mempermaian asap rokoknya membentuk huruf ‘O’, ‘Tapi mereka dengan ilmunya tidak terpakai di nagari ini. Lebih dari itu tidak ada orangtua yg mau mengambil mereka sebagai menantu”.

“Justru itu Man”, Salmi mencoba membela pendapatnya yang juga kelihatan sudah mulai terbawa emosi, “kamu perhatikan berapa luas nagari ini dibandingkan luas daerah yang dapat menerima kehadiran mereka. Mulai dari nagari tetangga, sekecamatan ini, Batusangkar, Payakumbuh, Kota Padang dan wilayah lainnya dapat menerima meraka sebagai khatib dan iman shalat. Selebihnya mereka dapat diterima menjadi guru agama di sekolah-sekolah milik negara. Itu berarti ilmu mereka diterima negara. Bandingkan dengan malin-malin di kampung ini. Mereka kalau memberikan ceramah di nagari tetangga kita saja mungkin mereka dianggap sudah gila. Seakan-akan Allah menjadikan bumi yang luas ini sempit bagi mereka”.

‘Iyalah-iyah”. Jawab Salman dibalik kain tidurnya lalu menguap sebagai tanda keinginan supaya perdebatan dihentikan.

* * *

Pagi ini bumi Allah yang luas terlihat cerah sekali oleh Salmi. Dari jendela pesawat Air Asia Salmi melihat Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur yang terletak di Sepang Negara Bagian Serawak Malaysia. Beberapa menit lagi pesawat yang take off dari Bandar Udara Sultan Syarif Kasim Pekanbaru ini akan landing di bandar udara yang dibangun dengan dana 3,5 milyar dolar Amerika Serikat.

Salmi membayangkan esokan harinya dia akan diwisuda untuk gelas S3-nya pada Universitas Islam Internasional Malaysia. Matanya berkaca-kaca tanda syukur kepada Allah, yang telah memperuntukkan bumi yang luas buatnya dan rezeki berupa beasiswa, istri yang mendukung perjuangannya selama ini, dan anak yang sehat-sehat dan pintar-pintar. Tak lama lagi Salmi akan memenuhi undangan beberapa universitas Islam dari dalam negeri dan negara sahabat seperti Malaysia, Brunai dan Qatar. Dari beberapa buku yang ditulisnya, Salmi memperoleh honor yang mampu membiayai perjalanan hajinya, istri dan juga kedua orangtuanya.

Tiba-tiba dia ingat Salman, teman-teman sepengajian dan malin-malin di nagarinya. Mereka masih tetap di nagari dan juga masih tetap dengan paham tua. Mereka tetap seperti dulu, ke kebun karet, ke sawah, berdoa ke kuburan, membakar kemenyan, mengantang padi zakat dan memandangi ufuk ketika bulan puasa tiba dan berakhir. Terbayang juga oleh Salmi botol-botol minuman keras dan kondom yang ditemui di tepi telaga. Teringat juga oleh Salmi, orangtua yang memeriahkan pesta perkawinan anak gadisnya dengan organ tunggal, yang terlebih dahulu telah dizinai oleh teman sekolahnya. Nanti-nantinya juga akan menjadi tradisi nagari. Tampak di sudut mata Salmi dua butir air mata mulai menetes ke pipinya.o

Tidak ada komentar:

Posting Komentar