Remaja Masjid Raya Taluk

Lintaubuo Tanah Datar

Sabtu, 13 Februari 2010

Kado Untuk Istifah


Cerpen oleh Feri Harbeni

Kado untuk Hanifah




"Buku, kenapa tidak?". Gumanku sendiri ketika berada di sebuah pasar swalayan selepas Maghrib. Betapa senangnya Hanifah menerima buku sebagai kado dariku pada hari pernikahannya nanti. Buku sebagai kado akan mewakilkan rasa terima kasihku dan kekagumanku atas ide-ide kreatifnya selama bekerja untukku, sebagai bawahanku. Aku berpikir hanyalah buku yang cocok aku berikan sebagai konsumsi otaknya yang brilian.

* * *

Aku meraihi sebuah buku bersampul warna biru muda. Buku yang telah menarik perhatianku sejak aku memasuki ruang ber-AC ini. Menikmati Malam Pengantin dengan Penuh Kreatif, sebuah judul yang tepat untuk suasana yang akan dilalui Hanifah.
Setelah membaca buku ini, menurutku Hanifah akan lebih rileks menikmati malam pengantinnya. Tentu pagi-pagi dia tersenyum malu sebelum aku menyapanya di halaman parkir kantor. Persis sewaktu aku pertama kali datang dengan malu-malu ke kantor setelah aku kembali dari berbulan madu. Aku menjadi geli sendiri.

Apakah aku dulu dituntun juga melewati malam pengantin? Pertanyaan ini tiba-tiba datang. Harus dijawab saat ini juga karena aku pernah melaluinya. Tidak, tapi tetap saja aku dan istriku menikmatinya hingga menjadi kenangan indah yang selalu mengingatkanku bahwa aku pernah menjadi pengantin.

Kenangan itu pulalah yang menjadi pembujuk hatiku seketika aku meresa jengkel kepada istriku. Aku berharap istriku juga mengenang kenangan yang sama disaat dia tidak sanggup lagi menahan egoku yang kelewatan.

Hanifah dan Mizan, calon suaminya, dugaanku punya rencana tersendiri untuk melewati malam pengantinnya. Sangkaanku mulai membuat aku bimbang terhadap pilihan buku bersampul warna biru ini.

Sama halnya dengan istriku, Mutia. Sama-sama mantan aktifis kampus menjadi alasan bagi kami untuk memplaning segala sesuatunya. Termasuk urusan yang satu ini. Aku yakin sekali Hanifah akan selalu melakukan hal yang sama untuk sesuatu yang telah aku lalui bersama Mutia. Ditambah pengajian yang didapat dari Uztazah di liqo’, menjadi kan Hanifah lebih menghayati perannya di malam pengantin, aku betul-betul bimbang dengan pilihan buku karangan Ustad Dr. H. Muhammad Fadhillah., Lc ini

Akhirnya, buku bergambar bunga mawar ini aku letakkan ditempatnya semulanya.

* * *

Aku melangkah lagi, melirik ke kanan dan ke kiri. Mataku tertuju ke papan petunku bertuliskan Tata Boga. Ingatan pada masakan. Itulah layanan pertama yang dilakukan Mutia sebagai seorang istri. Tentunya setelah kami melewati malam pertama. betapa menawannya istriku disaat kami saling berhadapan untuk menikmati sarapan pagi pertama dalam nuasa berumah tangga. Selamat tinggal dinding kamar kost kusam yang telah menemani aku makan selama ini. Betapa lezatnya masakan istriku. Tapi keromantisannya membuat aku lebih berbahagia lagi.

Aku pikir istriku telah berjibaku belajar memasak dengan ibunya, karena aku tahu hasil masakannya sewaktu menjadi aktifis kampus dulu. “Pejuang hak asasi perempuan, apa gunanya kalu tidak pintar memasak!”, candaku dulu sambil mengharapkan Mutia, tentu waktu itu status kami berteman, berbalik menyerangku di bawah pohon alpokat kampus yang rindang.

Mudah-mudahan Hanifah terbantu dengan buku mengenai tata boga ini, aku berharap, sambil membolak-balik buku yang tanpa aku sadari telah berpindah ke tanganku. Hanifah yang berasal dari luar Minang setelah mempraktekkan petunjuk di buku ini menemukan sebuah rahasia. Bahwa jika ingin mengikat pria Minang ikatlah lidahnya. Tentu dengan masakan yang sedap.

Setiap kali Hanifah menemani suaminya makan, seperti Mutia yang menemani aku makan, Hanifah akan tersenyum puas melihat suaminya menikmati masakannya dengan lahapnya. Pada waktu yang bersamaan Hanifah juga akan tersenyum, membayangkan wajah seorang tamu undangan yang telah memberikan kado yang sangat berarti baginya. Tamu undangan itu adalah aku, bosnya di kantor. Bagi Mizan senyum itu tentulah untuknya dari Hanifah. Astagfirullah. Hal ini tidak boleh terjadi.

Lalu akupun berlalu menuju buku yang lain.

* * *

Aku melangkah lagi. Melirik, lalu berhenti. Silih berganti. “seandainya Mutia ada di saat-saat aku dalam situasi seperti ini, dia pasti akan menolongku”. Ibahku dalam hati. Dia akan menjatuhkan pilihannya dengan argumen yang solit. Seperti biasa, aku hanya menikmati setiap ide yang keluar bebas dari kedua bibirnya. Aku tidak pernah belajar dari Mutia bagaimana caranya sebuah argumen disodorkan. Aku hanya menikmatinya saja, itu sudah cukup buatku. Itulah yang aku lakoni sejak kami sama-sama menjadi aktifis kampus dulu hingga Mutia menjadi istriku. Dengan argument yang mantap itu pulalah, Mutia suatu saaat memohon kepadaku, suaminya, untuk meridhoinya tampil sekali lagi sebagai seorang aktifis perempuan. Sambil merebahkan kepalanya di dadaku, sewaktu kami menikmati obrolan sebelum tidur.

Tak kuasa aku menolak permohonannya karena aku selalu menikmatinya. Dia berharap agar aku melupakan pernyataan setengah janjinya: dia akan memilih menjadi ibu rumah tangga saja setelah berkeluarga nanti. Waktu itu kami hanya berteman, tentu saja tempatnya di bawah pohon alpokat yang rindang.

Kebimbangan yang aku alami mudah-mudahan tidak menimpa Aisyah, buah hatiku dengan Mutia. Gadis kecilku yang wajahnya mirip ibunya menemani aku berbelanja kali ini, juga berbelanja untuk mengisi kado ulang tahun seorang teman kelasnya. Kami baru saja ditinggalkan Mutia, istriku dan ibunya. Katanya ada seminar di Ibu Kota dan dia sebagai aktifis hak asasi perempuan yang cukup vokal selama ini harus tampil sebagai nara sumber.

* * *

Fiqh Tujuh Mazhab. Tak salah pilihanku. Walau tidak cocok dengan Hanifah, aku merasa calon suaminya yang seorang Ustad akan gembira sekali menerimanya. Mungkin buku ini menjadi buku tertebal dan terberat yang pernah dia terima. Apa lagi kado ini berasal dariku, atasan istrinya.

Aku mencoba merangkul buku tebal itu. “Oh betapa beratnya”. Aku membayangkan wajah Hanifah ketika membuka kertas kado dariku.

Breaak !!! tiba-tiba buku dalam peganganku terjatuh ke lantai. Pengunjung yang ramai dan petugas swalayan menoleh ke arah sumber suara, tepat kepadaku. Mereka mungkin mengira aku adalah seorang dosen yang sedang mencari materi perkulihan.

Dengan santai aku pungut kembali buku tersebut.

Momentum membuka kado merupakan saat-saat yang penuh canda ria. Beberapa kerabat dekat, tetangga dan sahabat karib akan hadir. Dimulai dari kedua pengantin, akhirnya semua yang datang mendapat kesempatan untuk membuka kado. Setiap helai pembungkus kado dibuka, akan timbul ketegangan dan rasa penasaran. Hanya tawa berderai dari semua yang hadir yang sanggup menghentikan perasaan seperti itu.

Dengan suasana seperti itu tiba-tiba kado dariku, atasan hanifah dibuka. Muncullah sebuah buku ilmiah tebal sebagai penyalur berbagai macam emosi yang berkecamuk.

Sangat merusak suasana!

Tidak cocok dengan momentum!

Tidak gaul!

Dalam keadaan seperti itu tidak ada yang ilmiah-ilmiah, apalagi berbentuk buku tebal dan berat.

Lebih dari itu, aku sebagai atasan Hanifah harus selalu mencitrakan diri sebagai atasaan yang berwibawa. Di kantor, di pengajian rutin aku harus selalu menjaga imeg. Apalagi disaat-saat seperti itu. Aku tidak mau dirusak oleh sebuah kado.

* * *

“Papa..papa..”, Aku palingkan tubuhku ke arah datangnya suara. Rupanya gadis kecilku memanggil dengan senyumanya yang manis. Sebentar laki dia akan memasuki usia remaja. “Papa, pilih boneka yang mana?”.

“ Boneka beruang di sebelah kanan saja.” Jawabku mantap. Nah…!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar